Makalah maqashid syariah
MAKALAH
MAQASHID SYARIAH DALAM AKAD
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas maqashid syariah
Dosen pengampu : H. Nur Muhammad Faiz Amin,Lc.,M.E
Disusun oleh :
Umi Fadilah
(NIM : 2019.7.4.1.00109)
PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Perlu diketahui bahwa syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi
dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak
dapat memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam
menciptakan nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya,
kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah
mengetahui maksud syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan
penelitian terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya
diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum,
dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara
dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nash-nashnya, maka wajib
pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya
pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu,
dan dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan
diantara mereka.
Dalam makalah ini akan dibahas berbagai macam hal yang berhubungan dengan Maqasid alSyariah, baik mengenai pengertian, macam-macam dan tingkatan dari Maqasid al-Syariah , beserta
dalam akadnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari berbagai uraian yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, penulis tertarik untuk
mengangkat beberapa permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1. Apakah pengertian dari Maqasid al-Syariah itu?
2. Apa sajakah macam-macam dari Maqasid al-Syariah?
3. Bagaimana Akad Pembiayaan yang sesuai dengan Maqashid syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqasid al-Syariah
Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid
adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa
berarti الماء الى تحدر المواضعyang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan
sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan
dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah, al-maqasid al-syar’iyyah fi alsyari’ah, dan maqasid min syar’i al-hukm.
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
الشريعة هذه…معا والدنيا الدين فى مصالحهم قيام فى الشارع مقاصد لتحقيق وضعت
“Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
diakhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
لمصالحالعباد مشروعة اآلحكام
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba.”
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat
berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik
tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal
sebagai pelopor ilmu maqasid[8] pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun
ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara” di dalam hukum-hukum syara’. Berbagai
tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan
ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan
oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara’ itu terkandung
di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai
maqasid syara’ itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik maslahah atau
menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmahhikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat.Perubahan hukum yang
berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat
mendatangkan kemaslahatan kepada manusia. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat
sedemikian apabila beliau mengatakan “Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau
menarik kebaikan…”.
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama,
jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap
maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.
Kesimpulannya maqasid syariah ialah “matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi
kepentingan umat manusia”. Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa
maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud
tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.) Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung
antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.) Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti
yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam
dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat
kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya
orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan
pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala
manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya,
Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.
B. Macam-Macam Maqasid al-Syariah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan
hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid
al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta.
Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia
kebutuhan primernya.
1)
Agama
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan
vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga
merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam AlQur’an surat al-Maidah : 3
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang
harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah
agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura : 13.
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung
jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur
adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu,
agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini
dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa
seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam
firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
2)
Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas
(pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian
diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih
dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan
mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang
dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi
Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1)
Surat Al-Baqarah ayat 178-179
2)
Surat al-an’am ayat 151
3)
Surat Al-Isra’ ayat 31
4)
Surat Al-Isra’ ayat 33
5)
Surat An-Nisa ayat 92-93
6)
Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia,
yaitu surat Al-Isra’ ayat 33
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853]. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka
Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan[854] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan”.
3)
Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah
yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi
bentuk itu dengan akal.
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis menuman keras)
dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan
jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan
menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada
seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti
yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
…..“66. Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu.
kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih
antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67. Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki
yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang memikirkan.
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”,
69. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu
yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang memikirkan”….
4)
Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina,
menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu
dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah
dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anakanak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam
tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat
membawa pada zina.
5)
Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan
mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi
bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai
mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll.
b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia
(Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu
yang dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka).
Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan
uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan
beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,
kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan
hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan
ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan
urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan),
mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.
c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia
(Maqashid al-Tahsini)
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam
menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang
mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang
halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara
kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya,
atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.
C. Akad Pembiayaan yang sesuai dengan Maqashid syariah
Akad pembiayaan syariah memiliki posisi sentral didalam opersaional bank syariah,
karena dari akad-akad tersebut bank syariah mendapatkan keuntungan materi, akan tetapi
tujuan berdirinya perbankan syariah bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan material.
Penerapan prinsip-prinsip terhadap akad-akad pembiayaan syariah dimaksudkan untuk
mendapatkan nilai-nilai non profit yang tidak bisa diukur dengan nilai material. Dewasa ini
banyak ukuran yang dapat menunjukan kinerja bank syariah yang bersifat non profit,
diantaranya adalah penerapan maqashis syariah Index berdasarkan teori maqashid Syariah Abu
Zahra yang identic dengan teori maqashid syariah Ibnu Ashur.
Maqashid syariah index tersebut dikembangkan berdasarka 3 faktor Pertama, Tahdhibul
Fardi (mendidik individu); Kedua, Iqomatul ‘adl (menegaskan keadilan); dan Ketiga, Jalb
Maslahah (mencapai kemaslahatan). Dimana tiga factor tersebut merupakan interpretasi
maqashid syariah yang dikemukakan oleh Abu Zahra yaitu mencapai kesejateraan dan
menghindari keburukan. Ketiga tujuan tersebut bersifat universal yang sesungguhnya dapat
dijadikan pegangan dan tujuan operasional setiap entitas yang berakuntabilitas publik.
Akad pembiayaan yang sesuai Maqashid syariah pada perwujudan keadilan tercermin
dalam keseimbangan risiko dengan manfaat, Fair Return (al-qurmu bil-qurmi) dan Interest Free
Product (Ma’haruma akhjuhu harumai’tho’uhu), pada perwujudan mendidik individu tercermin
dalam profesionalisme, transparansi dan kejujuran serta pada perwujudan kemaslahatan
tercermin dalam pengawasan produk dan kepatuhan syariah (syariah compliance).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maqasid syariah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.
Maka maqashid syariah berarti kandungan yang menjadi tujuan pensyariatan hukum.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia.
Kebutuhan primer ini dibagi menjadi lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
b.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia.
Kebutuhan ini yang dapat memperlancar hubungan antar manusia, seperti muamalah, mubadalah
ibadah secara horizontal, dll.
c.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.
Serta Akad pembiayaan yang sesuai Maqashid syariah pada perwujudan keadilan tercermin
dalam keseimbangan risiko dengan manfaat, Fair Return (al-qurmu bil-qurmi) dan Interest Free
Product (Ma’haruma akhjuhu harumai’tho’uhu), pada perwujudan mendidik individu tercermin
dalam profesionalisme, transparansi dan kejujuran serta pada perwujudan kemaslahatan
tercermin dalam pengawasan produk dan kepatuhan syariah (syariah compliance).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da’wah alIslamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996, jilid 3
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997
Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya,
knecana Prenada Media Group, Jakarta, 2014.
http://makalah-ugi.blogspot.com/2014/05/maqashid-al-syariah.html?m=1
RESUME
Maqasid syariah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.
Maqashid syariah berarti kandungan yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maqasid syariah
ialah “matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia”. Para
ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang
menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua
golongan sebagai berikut:
a.)
Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan
langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.) Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau
seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam
Pencapaian Maqshid syariah dalam suatu akad pembiayaan syariah merupakan suatu hal
yang tidak terpisahkan dari konsep bank syariah itu sendiri. Akad pembiayaan yang sesuai
Maqashid syariah pada perwujudan keadilan tercermin dalam keseimbangan risiko dengan
manfaat, Fair Return (al-qurmu bil-qurmi) dan Interest Free Product (Ma’haruma akhjuhu
harumai’tho’uhu), pada perwujudan mendidik individu tercermin dalam profesionalisme,
transparansi dan kejujuran serta pada perwujudan kemaslahatan tercermin dalam pengawasan
produk dan kepatuhan syariah (syariah compliance).
…